Filosofi Kopi: Surat Yang Tak Pernah Sampai

July 04, 2014

Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga yang berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam.. tentang dia.

Dia yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.

Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya --dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda benda yang ia hanguskan --bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila-- berterbangan masuk ke matanya. Semoga Ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.

Tapi, sebelah darimu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan cinta. Kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes airmata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir,segalanya pasti akan bermuara di satu samudera tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala.. dan itulah tujuan kalian.
Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik. Maka tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu. Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membatu untuk itu.

Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.

Kamu takut karena ingin jujur.
 Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu. Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata 'sejarah' mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali. Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.

Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan kedunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing tanpa ada usaha saling mencocokan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama cinta dan perjuangan yang Tidak Boleh Sia-Sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.

Lama baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual. Lama bagi kamu untuk berani menoleh kebelakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinnya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.

Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan. Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkananmu --entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan... karena cinta adalah mengalami. Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud.


Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban. Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.

Hingga akhirnya..

Di meja itu, kamu dikelilingin tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?)

Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.

Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.

Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.

Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, berapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama. Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata 'jangan' yang mungkin apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.

Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.

Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirmu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pegi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.

Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya menemuiku.



Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan.
Yang mendamba mengalami.
Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu.
Surat-surat yang tak pernah sampai.

Dewi Lestari, Filosofi Kopi (1996)


--Jika aku punya cukup keberanian untuk kembali mengeja memori itu, maka sudah kukirimkan naskah ini padamu, mewakili seluruh diriku dengan perasaan yang tak kunjung usai.

You Might Also Like

0 comments