Folklore said this land is a piece of heaven
Where the tale begins; where you find the black pearls
People said this land is a dark forgotten trail
And somehow it wants to be found again
Taken by Arif Budianto when we strolled around Negeri Administratif Lonthoir
Sepulang dari Banda Naira, banyak orang yang mulai mengirimiku pesan. Intinya hampir sama, bagaimana rasanya tinggal hampir dua bulan lamanya di tanah Banda. Ya, aku menghabiskan hari-hari di bulan Januari dan Februari di Banda Naira, tepatnya di Negeri Administratif Boiyauw, Pulau Banda Besar. Aku sengaja memilih KKN mandiri untuk mencoret beberapa bucket list yang ku tulis jauh-jauh waktu. Mengasingkan diri dari padatnya pulau Jawa, merasakan berlayar dengan kapal melintasi lautan di perairan Timur, hidup seperti masyarakat lokal yang bukan bersuku Jawa, berenang di lautan lepas, dan masih banyak lagi bucket list yang tercoret karena aku memilih KKN di pulau-pulau asing. Sungguh aku tak menyangka mengunjungi Banda Naira adalah satu dari sekian keputusan yang harus benar-benar aku syukuri. Aku yakin teman-teman yang memilih KKN di daerah-daerah 3T pun juga sependapat.
Selain menanyakan perasaanku yang campur aduk selama di Kepulauan Banda, banyak juga yang mulai berminat untuk berkunjung kesana dan menanyakan bagaimana caranya. Oh iya by the way, terimakasih untuk teman-teman yang sudah mengikuti Banda Neira Bercerita di instagram—entah karena inisiatif atau karena ku paksa hahaha—hingga akhirnya tergugah untuk mejelajahi daerah Timur Indonesia khusunya Banda Naira! *sending my virtual hugs*. Sooo, untuk menebus rasa terimakasihku atas semua dukungan yang diberikan pada Banda Neira Bercerita, so here’s how to go to Banda Naira!
Kepulauan Banda terletak di tenggara Kota Ambon, namun masih dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Kota Ambon dan Kepulauan Banda dipisahkan oleh Laut Banda, yang sering disebut-sebut sebagai laut terdalam di Indonesia (dan memiliki banyak cerita legenda, seriously!). Maka jangan heran jika sewaktu-waktu akses ke Kepulauan Banda bisa mati total hanya karena Laut Banda mendadak tidak ramah. Kepulauan Banda terdiri atas sepuluh pulau, tiga pulau besar dan berpenghuni diantaranya adalah Banda Naira, Gunung Api, dan Banda Besar. Pulau lainnya yang berpenghuni adalah Pulau Hatta (Rozengain), Pulau Sjahrir (Pisang), Pulau Rhun, dan Pulau Ai. Sedangkan pulau-pulau lainnya adalah pulau-pulau kecil tak berpenghuni yang meliputi Pulau Nailaka, Pulau Karaka, dan Pulau Batu Kapal, as I recall. Nah, bagaimana cara ke Banda Naira? Here it is!
Sebenarnya banyak sekali pilihan akses ke Banda Naira, tergantung budget dan keluangan waktu. Intinya adalah kamu harus menginjakkan kaki di kota Ambon terlebih dahulu, baru pergi ke Kepulauan Banda. Nah berikut ini beberapa akses transportasi ke Banda Naira yang aku tawarkan dengan estimasi budget dan titik keberangkatan dari Kota Surabaya.
High Budget (Roundtrip ± IDR 3.000.000)
Akses ini sangat cocok untuk kalian yang berkantong tebal tapi memiliki waktu terbatas untuk berkunjung ke Banda Naira. Dari kota domisili, ambil penerbangan menuju Bandara Pattimura Ambon. Setelah tiba di Bandara Ambon, cari informasi mengenai penerbangan ke Banda Naira. Sayang sekali pada bulan-bulan aku berkunjung ke Banda, pesawat perintis sedang tidak beroperasi karena Bandara Banda Naira sedang vacum. Untungnya kini Bandara Banda Naira telah beroperasi kembali. Penerbangan menuju Banda Naira biasanya memakan waktu sekitar 1 jam saja, cukup singkat kan. Jadwal penerbangan ini cenderung tidak pasti karena tergantung dari cuaca dan kuota penumpang, namun biasanya akan terbang setiap hari Rabu. Semoga akses penerbangan menuju Banda Naira bisa semakin mudah ya seiring dengan ditingkatkannya infrasturuktur disana!
SUB Ã AMQ : Pesawat (± IDR 900.000 – 1.500.000)
AMQ Ã BANDA : Pesawat perintis (± IDR 300.000 – 400.000)
Mid Budget (Roundtrip ± IDR 2.500.000 - ± IDR 3.000.000)
Harganya memang tidak terpaut jauh dengan high budget, tapi akses transportasi ke Banda Naira ini lebih direkomendasikan. Kamu bisa memilih penerbangan yang kamu mau menuju Bandara Pattimura Ambon. Setelahnya cari taksi (bukan taksi argo lho, sejenis taksi avanza) menuju ke pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Sebenarnya kamu bisa menghemat budget dengan mencari angkutan umum tapi sedikit ribet karena harus oper kapal kecil menuju pelabuhan hahaha. Well, you know how public transportation in Indonesia, right?. Setelah itu cari jasa pelayaran menuju Banda Naira, bisa dengan kapal PELNI atau kapal cepat/perintis.
Kapal cepat biasanya hanya memakan waktu sekitar 5-6 jam untuk mencapai pelabuhan Banda Naira dan biasanya tersedia setiap hari tergantung dari cuaca. Setiap perusahaan jasa kapal cepat biasanya berlayar dua kali dalam seminggu, pilih saja yang hari keberangkatannya cocok dengan jadwalmu. Harga yang ditawarkan juga variatif, namun rata-rata seharga IDR 450.000. Sedangkan jika memilih kapal PELNI maka waktu yang dibutuhkan bisa lebih panjang, namun harga tiketnya sangat terjangkau hanya sebesar IDR 100.000. Lama pelayaran yang ditempuh dengan kapal PELNI sangat variatif tergantung kapal yang ditumpangi. KM Tidar atau KM Ngapulu yang biasanya berlayar lebih cepat memakan waktu sekitar 8 jam, KM Pangrango sekitar 12 jam, dan KM Leuser sekitar 18 jam karena harus transit ke Amahai terlebih dahulu. Kelebihan dari kapal PELNI adalah tidak terkendala oleh cuaca karena kapalnya besar, sehingga hampir selalu diberangkatkan sesuai dengan jadwal.
SUB Ã AMQ : Pesawat (± IDR 900.000 – 1.500.000)
Bandara Pattimura à Pelabuhan Yos Sudarso : Taksi (± IDR 100.000 – 150.000)
Pelabuhan Yos Sudarso à Pelabuhan Banda Naira : Kapal Cepat (± IDR 450.000) atau Kapal PELNI (± IDR 100.000)
Low Budget (Roundtrip ± IDR 1.200.000)
Pilihan akses ini biasa dipilih oleh orang-orang yang memiliki waktu teramat luang, biasanya mahasiswa hehehe atau orang-orang yang ini merasakan pengalaman baru yang menyenangkan sekaligus menantang. Transportasi menuju Banda Naira bisa ditempuh sekali jalan dengan menggunakan Kapal PELNI. Contohnya dari Surabaya, kamu bisa berlayar mulai dari Pelabuhan Tanjung Perak hingga sampai di Pelabuhan Banda. Harga tiketnya kurang lebih sama, meski waktu tempuhnya berbeda-beda. KM Tidar, KM Ngapulu, atau KM Dobonsolo (hanya sampai Ambon) biasanya memakan waktu paling cepat, hanya butuh sekitar 3-4 hari untuk mencapai Banda Naira. Sedangkan KM Leuser yang notabene adalah kapal barang berlayar selama 7 hari penuh untuk sampai karena sering mampir ke pelabuhan-pelabuhan lainnya. Untuk jadwal lengkap, detail harga, akses kapal, dan pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi bisa di cek di website PELNI. Yang perlu diingat jika memilih akses transportasi ini adalah: jangan salah jadwal dan jangan sampai ketinggalan kapal! Sebab pelayaran ini tidak setiap hari ada. Di Surabaya contohnya, kapal PELNI menuju Pelabuhan Banda Naira hanya akan diberangkatkan setiap dua minggu sekali. Sering-sering mengecek jadwal kapal di website PELNI juga bisa menjadi tindakan preventif kekacauan itinerary yang dibuat, karena terkadang kapal-kapal PELNI bisa berubah rute jika ada beberapa kapal yang harus docking.
Pelabuhan Tanjung Perak à Pelabuhan Banda Naira : Kapal PELNI (± IDR 500.000)
This photo is beautifully captured by Gatot when he sailed from Surabaya to Banda for 7 days
Anyway, aku sempat menyesal harus terpaksa mengambil penerbangan menuju Ambon dibanding berlayar dari Surabaya menuju Banda (karena urusan sponsor dan ini itu hehehe). Akhirnya aku hanya sempat merasakan pelayaran dari Ambon menuju Banda dengan KM Leuser dan pelayaran dari Banda menuju Ambon dengan KM Pangrango. Pelayarannya begitu singkat hingga sepertinya kapan-kapan aku harus mencoba mengambil pelayaran langsung dari Surabaya menuju Banda jika punya cukup banyak waktu.
Aku rasa setiap dari kita—orang Indonesia—harus pernah merasakan berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya, singgah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya; setidaknya satu kali dalam hidup. Menikmati deru angin yang masuk ke dek-dek kapal saat berlayar di tengah bentang lautan Indonesia. Melihat matahari tenggelam dan terbit di atas samudera dengan awan-awan yang berarak atau langit biru yang terkadang kelewat bersih. Bertemu dengan orang-orang setanah air; yang perangainya berbeda dengan lekuk wajah yang tegas, mata-mata tajam yang mengawasi, berbahasa Indonesia dengan aksen yang kaku, namun senyumnya selalu nampak bersahabat. Kasak-kusuk legenda atau cerita-cerita dari mulut ke mulut selalu bisa menjadi pemersatu, pembuka percakapan, atau pemecah keheningan di pelayaran yang menghabiskan ratusan jam. Sungguh ada banyak hal yang menyadarkan; yang menunggu untuk disyukuri pada detik berikutnya, di pelayaran menuju daerah-daerah di belahan Timur Indonesia.
Semoga tulisan ini membawamu ke Banda Naira, ya!
XOXO,
Rofaramadhani