Thio dan Aku sedang bercerita soal pola hidup sehat di SD Negeri Waling Spanciby (Credit by Aditya Rimba) |
Hey, bukankah hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional di Indonesia?
Mengingat tentang pendidikan nasional membawa pikiranku melayang ke hari-hari yang ku habiskan di Banda. Aku yang paling tidak bisa menghadapi anak-anak kecil, harus memasuki kelas-kelas sekolah dasar dan sekolah menengah di Banda untuk menyampaikan materi. Di tingkat kelas yang lebih rendah kami bercerita soal hidup sehat atau mengajari cara menanam bunga-bunga. Sedangkan di sekolah menengah, kami bercerita soal mimpi-mimpi; cita-cita anak pesisir setelah mereka menghabiskan bangku sekolahan. Baru saat itu aku sadar bahwa meski kami hidup dalam negara yang sama, tapi di antara pendidikan yang masing-masing kami terima ada sebuah celah besar. Banda dan kesederhanaannya, bagi mereka memberantas buta huruf sudah merupakan satu persoalan besar yang berhasil mereka selesaikan. Apalagi mengirimkan anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi di kota-kota besar, itu adalah prestasi yang luar biasa.
Akhir tahun yang lalu, kami mengikuti kompetisi video Ikon Pendidikan Profesi Guru yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Kami memutuskan untuk mengangkat cerita tentang pengalaman kami mengajar di Banda Neira. Andri bertugas mengumpulkan footage yang kami perlukan, Adit mengedit video, dan aku menulis script sekaligus membacakan narasi untuk video ini. Meski pengerjaannya dikejar deadline—karena aku harus mengemasi barang-barang yang harus ku bawa ke India—sungguh kami tidak pernah menyangka bahwa video kami terpilih menjadi Juara Kedua dalam kompetisi video ini.
Videonya bisa kamu tonton disini
Laut, adalah semesta
yang membawa kehidupan tetap berlayar
Langit, adalah keteduhan
dan segala hal yang mengijinkan
Di tanah ini
Orang–orang penunggang ombak bertaruh besar,
untuk masa depan yang lebih menjanjikan
Maka bagi mereka
Tak ada yang lebih membanggakan
Dari jiwa-jiwa tak kenal lelah
yang haus akan pengetahuan
Tak pernah ada lagi
Ketulusan yang lebih berarti
Selain guru-guru yang rela bangun lebih pagi
Maka untuk setiap asa yang dibagi
Dan kisah-kisah heroik negeri sendiri
Dengan Hatta dan Sjahrir yang diasingkan di tanah ini
Harapan-harapan itu ditiupkan bersama angin
Disampaikan oleh guru-guru yang datang untuk mengabdi
Mengisi ketidaktahuan di tengah redupnya pesisir
Karena yang selalu kami percaya
Yang selalu kami tanam
Mendidik adalah berbagi
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Untuk anak-anak Banda, teruslah belajar
Folklore said this land is a piece of heaven
Where the tale begins; where you find the black pearls
People said this land is a dark forgotten trail
And somehow it wants to be found again
Taken by Arif Budianto when we strolled around Negeri Administratif Lonthoir
Sepulang dari Banda Naira, banyak orang yang mulai mengirimiku pesan. Intinya hampir sama, bagaimana rasanya tinggal hampir dua bulan lamanya di tanah Banda. Ya, aku menghabiskan hari-hari di bulan Januari dan Februari di Banda Naira, tepatnya di Negeri Administratif Boiyauw, Pulau Banda Besar. Aku sengaja memilih KKN mandiri untuk mencoret beberapa bucket list yang ku tulis jauh-jauh waktu. Mengasingkan diri dari padatnya pulau Jawa, merasakan berlayar dengan kapal melintasi lautan di perairan Timur, hidup seperti masyarakat lokal yang bukan bersuku Jawa, berenang di lautan lepas, dan masih banyak lagi bucket list yang tercoret karena aku memilih KKN di pulau-pulau asing. Sungguh aku tak menyangka mengunjungi Banda Naira adalah satu dari sekian keputusan yang harus benar-benar aku syukuri. Aku yakin teman-teman yang memilih KKN di daerah-daerah 3T pun juga sependapat.
Selain menanyakan perasaanku yang campur aduk selama di Kepulauan Banda, banyak juga yang mulai berminat untuk berkunjung kesana dan menanyakan bagaimana caranya. Oh iya by the way, terimakasih untuk teman-teman yang sudah mengikuti Banda Neira Bercerita di instagram—entah karena inisiatif atau karena ku paksa hahaha—hingga akhirnya tergugah untuk mejelajahi daerah Timur Indonesia khusunya Banda Naira! *sending my virtual hugs*. Sooo, untuk menebus rasa terimakasihku atas semua dukungan yang diberikan pada Banda Neira Bercerita, so here’s how to go to Banda Naira!
Kepulauan Banda terletak di tenggara Kota Ambon, namun masih dalam wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Kota Ambon dan Kepulauan Banda dipisahkan oleh Laut Banda, yang sering disebut-sebut sebagai laut terdalam di Indonesia (dan memiliki banyak cerita legenda, seriously!). Maka jangan heran jika sewaktu-waktu akses ke Kepulauan Banda bisa mati total hanya karena Laut Banda mendadak tidak ramah. Kepulauan Banda terdiri atas sepuluh pulau, tiga pulau besar dan berpenghuni diantaranya adalah Banda Naira, Gunung Api, dan Banda Besar. Pulau lainnya yang berpenghuni adalah Pulau Hatta (Rozengain), Pulau Sjahrir (Pisang), Pulau Rhun, dan Pulau Ai. Sedangkan pulau-pulau lainnya adalah pulau-pulau kecil tak berpenghuni yang meliputi Pulau Nailaka, Pulau Karaka, dan Pulau Batu Kapal, as I recall. Nah, bagaimana cara ke Banda Naira? Here it is!
Sebenarnya banyak sekali pilihan akses ke Banda Naira, tergantung budget dan keluangan waktu. Intinya adalah kamu harus menginjakkan kaki di kota Ambon terlebih dahulu, baru pergi ke Kepulauan Banda. Nah berikut ini beberapa akses transportasi ke Banda Naira yang aku tawarkan dengan estimasi budget dan titik keberangkatan dari Kota Surabaya.
High Budget (Roundtrip ± IDR 3.000.000)
Akses ini sangat cocok untuk kalian yang berkantong tebal tapi memiliki waktu terbatas untuk berkunjung ke Banda Naira. Dari kota domisili, ambil penerbangan menuju Bandara Pattimura Ambon. Setelah tiba di Bandara Ambon, cari informasi mengenai penerbangan ke Banda Naira. Sayang sekali pada bulan-bulan aku berkunjung ke Banda, pesawat perintis sedang tidak beroperasi karena Bandara Banda Naira sedang vacum. Untungnya kini Bandara Banda Naira telah beroperasi kembali. Penerbangan menuju Banda Naira biasanya memakan waktu sekitar 1 jam saja, cukup singkat kan. Jadwal penerbangan ini cenderung tidak pasti karena tergantung dari cuaca dan kuota penumpang, namun biasanya akan terbang setiap hari Rabu. Semoga akses penerbangan menuju Banda Naira bisa semakin mudah ya seiring dengan ditingkatkannya infrasturuktur disana!
SUB Ã AMQ : Pesawat (± IDR 900.000 – 1.500.000)
AMQ Ã BANDA : Pesawat perintis (± IDR 300.000 – 400.000)
Mid Budget (Roundtrip ± IDR 2.500.000 - ± IDR 3.000.000)
Harganya memang tidak terpaut jauh dengan high budget, tapi akses transportasi ke Banda Naira ini lebih direkomendasikan. Kamu bisa memilih penerbangan yang kamu mau menuju Bandara Pattimura Ambon. Setelahnya cari taksi (bukan taksi argo lho, sejenis taksi avanza) menuju ke pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Sebenarnya kamu bisa menghemat budget dengan mencari angkutan umum tapi sedikit ribet karena harus oper kapal kecil menuju pelabuhan hahaha. Well, you know how public transportation in Indonesia, right?. Setelah itu cari jasa pelayaran menuju Banda Naira, bisa dengan kapal PELNI atau kapal cepat/perintis.
Kapal cepat biasanya hanya memakan waktu sekitar 5-6 jam untuk mencapai pelabuhan Banda Naira dan biasanya tersedia setiap hari tergantung dari cuaca. Setiap perusahaan jasa kapal cepat biasanya berlayar dua kali dalam seminggu, pilih saja yang hari keberangkatannya cocok dengan jadwalmu. Harga yang ditawarkan juga variatif, namun rata-rata seharga IDR 450.000. Sedangkan jika memilih kapal PELNI maka waktu yang dibutuhkan bisa lebih panjang, namun harga tiketnya sangat terjangkau hanya sebesar IDR 100.000. Lama pelayaran yang ditempuh dengan kapal PELNI sangat variatif tergantung kapal yang ditumpangi. KM Tidar atau KM Ngapulu yang biasanya berlayar lebih cepat memakan waktu sekitar 8 jam, KM Pangrango sekitar 12 jam, dan KM Leuser sekitar 18 jam karena harus transit ke Amahai terlebih dahulu. Kelebihan dari kapal PELNI adalah tidak terkendala oleh cuaca karena kapalnya besar, sehingga hampir selalu diberangkatkan sesuai dengan jadwal.
SUB Ã AMQ : Pesawat (± IDR 900.000 – 1.500.000)
Bandara Pattimura à Pelabuhan Yos Sudarso : Taksi (± IDR 100.000 – 150.000)
Pelabuhan Yos Sudarso à Pelabuhan Banda Naira : Kapal Cepat (± IDR 450.000) atau Kapal PELNI (± IDR 100.000)
Low Budget (Roundtrip ± IDR 1.200.000)
Pilihan akses ini biasa dipilih oleh orang-orang yang memiliki waktu teramat luang, biasanya mahasiswa hehehe atau orang-orang yang ini merasakan pengalaman baru yang menyenangkan sekaligus menantang. Transportasi menuju Banda Naira bisa ditempuh sekali jalan dengan menggunakan Kapal PELNI. Contohnya dari Surabaya, kamu bisa berlayar mulai dari Pelabuhan Tanjung Perak hingga sampai di Pelabuhan Banda. Harga tiketnya kurang lebih sama, meski waktu tempuhnya berbeda-beda. KM Tidar, KM Ngapulu, atau KM Dobonsolo (hanya sampai Ambon) biasanya memakan waktu paling cepat, hanya butuh sekitar 3-4 hari untuk mencapai Banda Naira. Sedangkan KM Leuser yang notabene adalah kapal barang berlayar selama 7 hari penuh untuk sampai karena sering mampir ke pelabuhan-pelabuhan lainnya. Untuk jadwal lengkap, detail harga, akses kapal, dan pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi bisa di cek di website PELNI. Yang perlu diingat jika memilih akses transportasi ini adalah: jangan salah jadwal dan jangan sampai ketinggalan kapal! Sebab pelayaran ini tidak setiap hari ada. Di Surabaya contohnya, kapal PELNI menuju Pelabuhan Banda Naira hanya akan diberangkatkan setiap dua minggu sekali. Sering-sering mengecek jadwal kapal di website PELNI juga bisa menjadi tindakan preventif kekacauan itinerary yang dibuat, karena terkadang kapal-kapal PELNI bisa berubah rute jika ada beberapa kapal yang harus docking.
Pelabuhan Tanjung Perak à Pelabuhan Banda Naira : Kapal PELNI (± IDR 500.000)
This photo is beautifully captured by Gatot when he sailed from Surabaya to Banda for 7 days
Anyway, aku sempat menyesal harus terpaksa mengambil penerbangan menuju Ambon dibanding berlayar dari Surabaya menuju Banda (karena urusan sponsor dan ini itu hehehe). Akhirnya aku hanya sempat merasakan pelayaran dari Ambon menuju Banda dengan KM Leuser dan pelayaran dari Banda menuju Ambon dengan KM Pangrango. Pelayarannya begitu singkat hingga sepertinya kapan-kapan aku harus mencoba mengambil pelayaran langsung dari Surabaya menuju Banda jika punya cukup banyak waktu.
Aku rasa setiap dari kita—orang Indonesia—harus pernah merasakan berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya, singgah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya; setidaknya satu kali dalam hidup. Menikmati deru angin yang masuk ke dek-dek kapal saat berlayar di tengah bentang lautan Indonesia. Melihat matahari tenggelam dan terbit di atas samudera dengan awan-awan yang berarak atau langit biru yang terkadang kelewat bersih. Bertemu dengan orang-orang setanah air; yang perangainya berbeda dengan lekuk wajah yang tegas, mata-mata tajam yang mengawasi, berbahasa Indonesia dengan aksen yang kaku, namun senyumnya selalu nampak bersahabat. Kasak-kusuk legenda atau cerita-cerita dari mulut ke mulut selalu bisa menjadi pemersatu, pembuka percakapan, atau pemecah keheningan di pelayaran yang menghabiskan ratusan jam. Sungguh ada banyak hal yang menyadarkan; yang menunggu untuk disyukuri pada detik berikutnya, di pelayaran menuju daerah-daerah di belahan Timur Indonesia.
Semoga tulisan ini membawamu ke Banda Naira, ya!
XOXO,
Rofaramadhani
They kneel down inside the temple; facing to Buddha
Their hands merge in front of their chest
There are rows and rows of prayer
A solitude of a servant; a moment of silence
Their hands merge in front of their chest
There are rows and rows of prayer
A solitude of a servant; a moment of silence
Apa yang lebih baik dari pergi beratus-ratus kilometer ke antah berantah dan menghabiskan beberapa jam untuk merenung di jam-jam menjelang subuh? Bertemu orang-orang yang kulitnya terbakar matahari, berbahasa ibu yang ambigu, dengan senyum yang kaku. Sungguh kami membuat rencana yang tidak akan pernah kami sesali seumur hidup dengan mengunjungi negara yang pemalu.
Udara di Old Bagan tidak pernah bisa dibilang sejuk, meski sebagian besar wilayahnya adalah hamparan tanah berdebu tapi udara pagi itu cukup hangat. Setelah kami menghabiskan beberapa jam nongkrong di atas Buledi Pagoda dari sebelum matahari terbit hingga matahari cukup tinggi, kami memutuskan untuk meruntut kembali itinerary yang sudah kami buat. Perut kami cukup keroncongan, kami baru ingat terakhir kali kami makan adalah saat makan siang kemarin di restoran Golden City Chetty. Selebihnya kami hanya mengemil sepanjang perjalanan, memenuhi perut kami dengan roti, buah, keripik, permen, dan apa saja yang bisa dimakan. Mr. Aung Myint menawarkan untuk mampir ke sebuah restoran sebelum kami bergerak ke hostel. Sontak kami setuju, sepertinya kami memang kelewat lapar.
Tak lama setelah itu kami tiba di sebuah kedai lokalan yang disarankan oleh Mr. Aung Myint. Kami bergegas mencari meja yang kosong dan mulai mengamati menu-menu yang dihidangkan. Well, sekali lagi menunya berisi tulisan-tulisan keriting yang tidak kami pahami. Di kedai ini pun kami tidak menemukan penanda halal atau cap MUI. Sepertinya impianku untuk makan a la orang-orang Myanmar kandas sudah. Kami memesan nasi putih tujuh porsi (pelayannya tak berbahasa Inggris sehingga kami harus gugling foto nasi putih dan menunjukkan padanya) dan teh, lalu buru-buru mengambil abon-abonan, sambal, dan kering kentang di dalam mobil. Hal yang paling kami sukai di Myanmar adalah pelayanannya yang cepat, tidak butuh waktu lama tujuh porsi nasi lengkap dengan bermacam-macam pendamping tersedia di meja kami. Ya, jika kami hanya memesan nasi pun, selalu ada makanan pendamping yang diberikan cuma-cuma seperti sejenis ikan teri berbumbu, kuah asin, sayuran, dan sejenis sambal. Tapi bagi kami penggila es teh, sepertinya kami harus berbesar hati dengan minum teh susu kental tidak dingin yang dihidangkan dalam cangkir yang tak terlalu besar. Whatever, bon appetit!
Setelah kenyang dan puas dengan sarapan pagi itu, kami berkendara menuju hostel. Hostel kami cukup jauh dari downtown yang kebanyakan dikunjungi turis-turis berkantong lebih tebal. Kami sengaja memilih hostel yang nyaman dan tidak terlalu menguras kantong, sehingga menjauh dari pusat kota adalah keputusan yang tepat. Hostelnya cukup murah dengan fasilitas yang cukup standar, alhamdulillah ada wifi yang bisa kami gunakan, kasur empuk untuk tidur, kamar mandi dalam, daaaaannn televisi yang menyiarkan channel-channel yang tak kami pahami bahasanya. Semua urusan booking hostel Ever New Guest House ini disiapkan oleh Mbak Anggung, go ask her if you need any help or kindly check her blog!
Penjual bedak thanaka di pelataran candi
Sekitar pukul dua belas kami kembali di jalanan gersang Old Bagan. Setelah mampir makan siang, kami bergegas mengejar waktu, mengecek itinerary selanjutnya yaitu seharian menghabiskan waktu untuk mengunjungi candi-candi disini. Di luar dugaan, jalanan Bagan terhitung sepi dengan banyak candi di kiri kanan yang telihat mencuat dari hamparan tanah tandus. Kami mengunjungi beberapa candi besar seperti Ananda Phaya, Schewizigon Pagoda, Dhammayangzi Temple, dan beberapa candi yang bahkan aku tidak tahu namanya. Kami memutuskan untuk mengunjungi candi-candi yang besar dan cukup ramai karena candi-candi yang kecil teramat banyak, cenderung tidak berpenghuni dan tidak ada aktivitas di dalamnya (kan nggak seru!). Usut punya usut, kata Mr. Aung Myint ada sekitar dua ribuaan candi yang telah dibangun di atas Old Bagan sejak tahun 1812. Banyaknya candi disini dikarenakan kepercayaan masyarakatnya bahwa setiap keluarga wajib membangun setidaknya satu candi untuk beribadah. Tak jarang mereka lebih memilih untuk mempercantik tempat ibadah mereka dari pada memiliki rumah yang layak. Nah, Old Bagan ini dikhususkan sebagai cagar budaya untuk pelestarian pagoda, candi, atau situs bersejarah lainnya. Sehingga kini penduduk lokal direlokasi untuk tinggal di daerah sekitar Old Bagan yang dilabeli New Bagan.
Candi-candi besar itu juga masih difungsikan sebagai tempat ibadah sehingga kami harus hati-hati dan tetap respect saat mengunjunginya seperti memakai pakaian yang sopan dan tidak minim. Kami juga harus melepas sepatu kami dan bertelanjang kaki setiap masuk ke dalam atau merangkak ke atapnya. Orang-orang di Bagan berpenampilan tidak berbeda dari orang-orang di Yangon. Kami malah lebih sering bertemu dengan biksu-biksu berbalut kain merah maroon atau kuning mustard yang lalu lalang di dalam pagoda dan candi. Tak jarang seiring dengan kami menyusuri setiap bangunan-bangunan candi, kami melihat orang-orang yang dengan khusuk bersimpuh dan merapal doa-doa di depan patung Buddha. Sepertinya orang-orang Bagan punya loyalitas yang tebal terhadap agama mereka. Like all the time they're sitting there and pray!
Candi-candi besar itu juga masih difungsikan sebagai tempat ibadah sehingga kami harus hati-hati dan tetap respect saat mengunjunginya seperti memakai pakaian yang sopan dan tidak minim. Kami juga harus melepas sepatu kami dan bertelanjang kaki setiap masuk ke dalam atau merangkak ke atapnya. Orang-orang di Bagan berpenampilan tidak berbeda dari orang-orang di Yangon. Kami malah lebih sering bertemu dengan biksu-biksu berbalut kain merah maroon atau kuning mustard yang lalu lalang di dalam pagoda dan candi. Tak jarang seiring dengan kami menyusuri setiap bangunan-bangunan candi, kami melihat orang-orang yang dengan khusuk bersimpuh dan merapal doa-doa di depan patung Buddha. Sepertinya orang-orang Bagan punya loyalitas yang tebal terhadap agama mereka. Like all the time they're sitting there and pray!
Meski banyak penjual cinderamata dimana-mana, hampir di semua candi yang cukup ramai selalu ada tulisan kurang lebih begini "Buddha is not an accessory, please don't buy it". Kenapa? Karena hampir semua penjual cinderamata biasanya menjual hiasan-hiasan berbentuk Buddha mulai dari yang berbahan kayu hingga berbahan kuningan dengan harga yang cukup murah. Mungkin bagi mereka, menjajakan atau membeli patung-patung Buddha adalah sebuah pelecehan terhadap agama mereka sendiri. Who knows. Padahal aku sudah tergoda untuk membeli satu, akhirnya tidak jadi demi menghargai keyakinan mereka ehehehe ... akhirnya aku memborong banyak postcard yang dijajakan oleh anak-anak Bagan. Another story, anak-anak Bagan pandai berbahasa Inggris, sayangnya entah kenapa mereka lalu lalang di tempat wisata dan menjual postcard atau cinderamata pada saat hari-hari biasa, aku jadi bertanya-tanya apakah mereka sekolah atau tidak. Terkadang mereka menunjukkan mata uang negara si turis berasal, kami juga menjumpai beberapa lembar rupiah ditangannya. Bagian yang menyedihkan adalah ketika mereka bilang 'aku tidak membutuhkan uang dari negaramu, uang-uang ini tak akan bisa dibuat apa-apa atau ditukarkan, aku membutuhkan Kyat'. Humanity is really needed here, kami merasa apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan mengemis and it's heart-breaking tho.
Oh iya, makan siang kami hari itu adalah makan siang terbaik selama kami tinggal di Myanmar. Mr. Aung Myint mengantarkan kami ke sebuah warung sederhana yang tidak jauh dari tempat kami sarapan. Pemiliknya adalah seorang muslim, kenalannya. Jadi dipastikan kami akan makan lebih enak dan lebih kenyang karena 100% halal, yeay! Meski kami harus makan kari (lagi) tapi kali ini rasanya sangat enak hingga rasanya kami bisa menghabiskan berpiring-piring nasi. Kami memesan tujuh porsi kari ayam lengkap dengan nasi putih, daaaaann seperti biasa banyak sekali hidangan pendamping lainnya yang disediakan sampai-sampai meja kami penuh oleh makanan. Harganya pun tidak jauh berbeda dengan harga kari yang kami makan di Yangon.
Sorenya kami kembali mencari spot yang bagus untuk menghabiskan hari itu dengan memandang jauh ufuk barat. Langit sore itu kelewat bersih, tidak ada awan-awan menggumpal di atas Bagan. Mataharinya memerah, membuat semesta berwarna semburan oranye dan biru gelap. Kami bertemu beberapa turis asal Eropa dan bercengkrama sembari menanti Old Bagan ditelan gelap.
#ForYourInformation
- Kami merasa cukup sulit menemukan makanan halal di Myanmar, sehingga tidak ada salahnya membawa sedikit perbekalan untuk jaga-jaga
- Ada baiknya membuat reservasi hostel terlebih dahulu sebelum keberangkatan, karena penginapan di Bagan sering full booked, lagi pula memesan jauh-jauh hari akan menguntungkan karena harga yang relatif murah dibanding on the spot reservation
- Matahari di atas Bagan sangat terik, tanahnya berdebu dan pepohonan disana sangat minim, jadi membawa sunscreen dengan SPF tinggi, masker, dan topi sangat disarankan
- Memakai sandal lebih disarankan jika kamu malas mencopot dan memakai sepatumu saat mengunjungi candi-candi disana
- Penjual minuman merupakan satu-satunya oase bagi kami untuk meredakan dahaga dan panas yang terlalu menyengat (I swear it was hotter than Surabaya!), harga dagangannya juga tidak mahal sehingga aku berkesimpulan living cost disana tidak akan jauh berbeda dengan di Surabaya
- Selain berkendara dengan mobil, wisatawan juga bisa menyewa sepeda listrik, sepeda manual, hingga naik delman (aku tidak tau soal harganya)
- Esok paginya kami berkendara ke Yangon dengan Shwe Mandalar Bus, harganya lebih murah (sekitar 13.000 Kyat atau ± IDR 130.000) karena termasuk kelas bisnis. Tapi kami hampir saja ketinggalan penerbangan menuju Bangkok karena jadwal kedatangan bus yang tidak menentu (untung kami terbantu oleh mbak-mbak Myanmar yang bersekolah di Singapore sehingga ia bisa berbahasa Inggris dan membantu kami mencari taksi!), jadi sepertinya berkendara dengan JJ Express Bus lebih disarankan.
XOXO,
Rofaramadhani
“When we write down our dreams, we transform what we imagine into reality.”
― Gina Greenlee, Postcards and Pearls: Life Lessons from Solo Moments on the Road
Bagiku, kamar adalah ruang yang sangat personal untuk setiap orang. Kadang karena sangat pribadi, kamar juga bisa menunjukkan bagaimana sifat atau kebiasaan seseorang. I'm not being judgemental but it's kinda truth, right? Tentu saja selain menilai orang-orang dari sepatu mereka atau apa yang mereka kenakan. Well, kita semua punya banyak cara untuk menilai seseorang, now you know my ways hahaha.
Setahun belakangan aku suka sekali berkirim kartu pos melalui postcrossing.com, sejak itu pula aku menerima beberapa kartu pos yang terlalu menggemaskan hingga sayang sekali jika tidak dipajang. Akhirnya aku memutuskan untuk membuat bulletin board ala ala agar beberapa gambar dan kartu pos favoritku bisa terpajang secara apik di kamar. Ide awalnya adalah sekaligus menjadikan board ini sebagai vision board agar aku bisa membuat planning dan milestone untuk goal-goal karirku. Ah, tapi sepertinya aku terlalu malas untuk melakukannya. Mahasiswa. Banyak teori, minim prakteknya.
DIY Bulletin Board ini sudah beres beberapa bulan yang lalu, sudah lama sekali. Sejujurnya aku memang nggak terlalu berminat untuk memposting bagaimana cara membuatnya karena hampir bisa dibilang effortless dan sangat murah (apalagi untuk anak kos). Namun beberapa orang menanyakan bagaimana cara membuatnya dan bagaimana aku bisa membuat bulletin board yang bagi mereka artsy dan menarik. Guys believe me, board ini hanya terlihat bagus di sosial media atau terlihat oke sebagai background foto untuk instagram stories. Coba sini ke kamarku, pasti terlihat acak adul :)))
So, you will need ...
1. Kasa kawat, aku menggunakan kasa dengan ukuran 1 cm. Aku membeli di toko bangunan dengan lebar 1 meter x 1 meter dan membeli yang paling murah, seingatku hanya sekitar Rp 12.000, LOL!
2. Paku beton (4 buah)
3. Palu
See, bahkan sepertinya aku nggak menghabiskan uang lebih dari Rp 15.000, affordable right? Bagian tersulit adalah membuat kasa kawatnya datar karena aku membeli kasa kawat gulungan. Jika kamu ingin pekerjaan ini semakin mudah, coba beli kasa kawat yang datar (pasti lebih mahal) atau kawat display yang biasa digunakan untuk mendisplay barang dagangan. Nah, aku memilih kawat yang murah karena nothing to lose sih; I'm not going to live in Solo forever. Doain ya tahun ini udah bisa lulus dan balik Surabaya *aminaminamin* hahaha.
Setelah kawatnya cukup datar (aku menggunakan segala macam cara seperti memukul-mukulnya dengan palu, menindihnya dengan buku, bahkan menggulung ulang berlawanan arah), ukur seberapa lebar bulletin board yang kamu inginkan. Potong dan sesuaikan dengan kebutuhanmu. Coba tempelkan kasa kawat di tembok dan beri tanda dimana kamu harus memakunya pada ujung-ujung kasa kawat. Konsepnya adalah hanging, jadi paku disini fungsinya cuma buat menggantung kasa kawatnya biar nggak jatuh. Nah, hasilnya bakal kayak gini nih.
I keep all of my letters, postcards, and thank you notes. I'll keep them forever!
― Jane Levy
Aku menggantung banyak sekali kertas-kertas di bulletin boardku (yaiyalah, namanya juga buletin!), sebagian besar kartu pos sih hehehe. Aku juga menggantung gambar-gambar amburegul hasil latihan cat air yang tak kunjung membaik. Ada juga kartu ucapan ulang tahun, foto-foto favorit yang aku cetak sendiri, origami-origami, potongan-potongan majalah, tiket konser favorit, stiker, kutipan-kutipan absurd, tiket perjalan kereta api, hingga tagihan laundry yang aku kumpulkan demi mendapat free laundry 5 kg (LOL!). Sebenarnya aku ingin menaruh to-do-list juga disitu, tapi karena letaknya yang terlalu tinggi dari meja belajarku maka ku urungkan niatan itu (nggak bakal kebaca juga sih).
Oh iya, satu hal lagi! No need to ask, I give you a favor.
- Jepitan kayunya bisa dibeli di @art.see, biasanya mereka juga menyediakan komplit dengan tali seratnya (percayalah aku pemburu harga stationery termurah)
- Kartu pos jadul, majalah lawas, dan foto-foto lama bisa dibeli di Taman Buku & Majalah Alun-Alun Keraton Surakarta, di kios paling ujung yang menjual bermacam-macam barang dan dokumen lama
- Dream catcher bisa dibeli di toko suvenir khas Solo paling lengkap di daerah Nonongan (beli yang banyak agar dapat harga grosir!)
- Mau bikin origami juga? Cek postingan ini, aku membuat beberapa origami
Nah, tertarik membuat bulletin boardmu sendiri?
Happy Crafting!
XOXO,
Rofaramadhani
The sky above us was reddish as the sun downed
People were passing by on the street;
and this city was still busy
Setelah seharian di Yangon, malam harinya kami berencana melintasi jalanan kota-kota di Myanmar untuk menuju Bagan. Kami memilih berkendara dengan JJ Express Bus yang memakan waktu sekitar 8 jam perjalanan. Busnya besar sekali, kursinya cukup lebar dan nyaman untuk tidur selama perjalanan (thanks God kami belum tidur nyeyak semenjak tiba di KLIA!). Kami tiba di kawasan Aung Mingalar Highway Bus Station sekitar pukul 6 petang, saat Yangon masih terik dan jalanan masih cukup sibuk. Terminal bus disini berbeda jauh dari yang ada di Indonesia. Kawasan ini berisi deretan ruko yang berfungsi sebagai shelter berbagai operator bus. Kami memilih menggunakan jasa JJ Express Bus yang menawarkan fasilitas eksekutif. Di shelter kami bisa mengambil kopi sesuka hati dan mengakses wi-fi gratis (finally!), setelah seharian smartphone kami hanya kami gunakan untuk foto-foto. Sedangkan saat di dalam bus, kami mendapatkan makanan kecil, air mineral, soft drink, serta selimut yang cukup nyaman. Penjelasan lengkap soal JJ Express Bus dan dilema kami saat itu bisa dibaca di tulisan Mas Ndup yang ini (keep attach Mas Ndup's blog, LOL!).
Sore itu, matahari di atas Yangon berwarna terlalu merah sehingga langit kota ini tampak sendu dengan pendar merah saat senja tiba. Kami masih punya waktu sekitar 2 jam sebelum bus diberangkatkan jam 8 malam tepat. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar shelter bus sambil membeli makanan ringan apapun yang tampak halal dan bisa kami makan (berbekal bismillah). Kawasan ini cukup ramai oleh lalu lintas kendaraan yang mengantarkan penumpang lintas provinsi, sehingga jalanannya sangat carut-marut dan berdebu. Lengkap juga dengan hiruk-pikuk orang-orang Yangon yang berbicara bahasa Burma dengan dialek yang cukup lantang.
Hampir sama dengan di Indonesia, bus-bus di Myanmar juga berhenti di restoran (atau lebih tepatnya foodcourt) di tengah perjalanan. Malam itu, kami yang sudah cukup lelap terpaksa bangun saat seorang pramugari dengan bahasa Inggris yang pas-pasan dan sangat kurang jelas (body language is really needed here!) mengarahkan penumpang untuk turun dari bus. Percayalah, awalnya tidak ada satu penumpang pun yang paham maksudnya sehingga ia harus menjelaskannya pelan-pelan ke seorang turis kaukasia yang duduk paling dekat dari tempatnya berdiri. Turis itu akhirnya mengangguk dan berkata pada seluruh penumpang "We need to go outside because this bus will stop for one hour ahead" (yaelah!).
Jalanan menuju kota Bagan sangat gelap dengan siluet pepohonan yang tegas disorot lampu bus. Aku terjaga memandangi jalanan di balik kaca bus, sekitar satu jam sebelum kami mencapai perbatasan Bagan. Cakrawala masih saja berwarna biru kelam saat kami tiba di Bagan Shwe Pyi Highway Bus Station, jam digital di bus menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kami segera turun dan menukar label penitipan barang dengan carier bag kami. Aku masih setengah sadar ketika belasan laki-laki paruh baya dengan kemampuan bahasa Inggris yang lumayan oke mengerubungi penumpang yang baru saja turun dari bus. Well, ternyata mereka menawarkan jasa sewa mobil sekaligus driver untuk seharian berkelana di kota Bagan. Tentu saja backpacker seperti kami memilih jasa dengan harga yang relatif murah setelah tawar menawar terjadi.
Setelah melintasi perbatasan kota Bagan, Bapak driver mengantarkan kami ke salah satu pagoda bernama Buledi Pagoda. Kami tiba disana saat pagoda ini masih sunyi dan jalanan masih gelap. Kami memanjat hati-hati anak tangga pagoda ini untuk mencapai atap pagoda. Bapak driver bilang pagoda ini adalah spot terbaik dan tak terlalu ramai (tapi bagiku cukup ramai) untuk melihat matahari terbit di atas Old Bagan. Yep, salah satu tujuan kami pergi ke kota ini adalah untuk mendapatkan pemandangan kota Bagan yang di hiasi oleh puluhan balon udara yang mengangkasa di pagi hari. And yes, it does left me speechless ...
#ForYourInformation
- Jangan pernah sedikit pun terlintas untuk serba dadakan berpindah dari satu kawasan ke kawasan lainnya karena traffic jam di Yangon cukup parah dan tidak terprediksi di jam-jam tertentu
- Harga 1 tiket bus Yangon - Bagan sekitar 23.000 Kyats (± IDR 230.000) untuk eksekutif bus seperti JJ Express Bus, sedangkan untuk kelas bisnis sekitar 13.000 Kyats (± IDR 130.000) seperti Shwe Mandalar Bus
- Di perbatasan kota Bagan, biasanya turis asing akan dikenakan fee enterance sebesar 20 USD (lucky us we didn't have to pay bcs our driver knew the other shortcut!)
- Kami menyewa sebuah van berisi 7 kursi penumpang untuk seharian berkeliling Bagan dengan tarif sekitar 100.000 Kyats (± IDR 1.000.000)
- Balon udara yang terbang di atas Bagan hanya beroperasi di bulan Oktober hingga Maret, harga yang harus dibayar untuk menikmati Old Bagan dari angkasa selama 30-45 menit adalah sekitar USD 380
- Balon udara yang terbang di atas Bagan hanya beroperasi di bulan Oktober hingga Maret, harga yang harus dibayar untuk menikmati Old Bagan dari angkasa selama 30-45 menit adalah sekitar USD 380
- Sebagian pagoda-pagoda di Bagan masih digunakan sebagai tempat ibadah, jadi keep respect yaaa
XOXO,
Rofaramadhani
People were staring at us; from top to toe
Their eyes followed our move, maybe because we were different
It wasn't about our skin color, nor about our face
Maybe because we covered our hair with a veil and they didn't
Aku ingat kali pertama aku menginjakkan kaki di bekas ibukota negara Myanmar (Burma) ini sekitar satu tahun yang lalu (lama beneeeerrr~). Hari itu adalah hari yang cukup cerah di Yangon International Airport. Setelah landing, kami berlima buru-buru mencari toilet untuk sekedar menjaga mata kami tetap terbuka. Morning flight membuat kami tak sempat mandi dan tak kuasa menahan rasa kantuk, setelah sebelumnya kami menginap beberapa jam di pelataran Kuala Lumpur International Airport dan harus mengejar penerbangan di Gate 21 (sekali lagi, 21!) sembari memanggul carrier bag. Petugas imigrasi menghampiri kami, menyuruh kami untuk segera mengantri di antrian immigration arrival yang kini terlihat semakin panjang setelah satu grup besar orang-orang kaukasia ikut mengantri. Sepertinya pagi itu kami kurang beruntung, dengan turis sebanyak itu entah kenapa mereka hanya menyediakan dua baris antrian untuk foreigner. Bayangkan, kami harus mengantri sekitar satu jam dan memanggul tas dengan berat tak kurang dari delapan kilogram. Lumayan. Olahraga.
Di luar bandara kami berbincang dengan seorang petugas perempuan yang membantu kami mencari taksi untuk menuju Shwedagon Pagoda. Setelah hitung menghitung ongkos yang akan kami keluarkan, kami menyetujui seharian diantar dengan sebuah mobil berkapasitas tujuh penumpang yang bahkan tidak bisa ku sebut sebagai taksi. No one longer use that kind of car in Surabaya nowadays, tho. Setibanya di Shwedagon Pagoda, kami masih belum bisa menghubungi Mbak Anggung & Mbak Kania yang sampai di Yangon lebih dulu. Sedangkan kami hanya punya beberapa jam hingga petang sebelum kami harus mengejar bis menuju kota Bagan di malam harinya. Sooooo, beginilah kegiatan kami hari itu (semuanya dilakukan dengan serba cepat).
Shwedagon Pagoda (kami bahkan tak jadi masuk ke dalam pagoda, ugh!) - Makan siang di Golden City Chetty Restaurant (we couldn't read their menu, seriously!) - Sholat Dzuhur sekaligus Ashar di masjid-yang-ku-lupakan-namanya (coba baca tulisan Mas Ndup soal seharian di Yangon, lebih lengkap!) - Belanja oleh-oleh di Bogyoke Aung San Market.
Hiruk pikuk kota Yangon siang itu
Bogyoke Aung San Market terlihat seperti pasar tradisional oleh-oleh serba ada. Pasarnya cukup luas dan lengang dengan kios-kios yang diatur dalam petak-petak, membentuk blok-blok dengan ruas jalan yang cukup lebar. Kios-kiosnya lebih terbuka dengan dekorasi yang lebih niat lucu daripada pasar-pasar di Indonesia. Kami menemukan banyak cinderamata dijual dengan harga yang relatif ramah bagi kantong pelajar seperti kami, tentu saja dengan ritual tawar-menawar sengit di awal. Ada perhiasan, kaos, longyi, baju tradisional Myanmar, kartu pos, gantungan kunci, tempelan kulkas, tas-tas kecil, aksesoris, makanan tradisional, pajangan, dan cinderamata lainnya. Too bad kami tidak bisa memakan apapun disana karena kami tidak yakin makanan-makanan itu halal atau tidak. Aku membeli beberapa kaos, dua baju tradisional Myanmar, dan beberapa kartu pos. Interesting fact: Some of the sellers can speak in Bahasa! (not so good, but they understand).
Hampir semua orang-orang Yangon yang kami temui mengenakan sejenis sarung; Longyi sebutannya. Iya, mereka menggunakan sarung sehari-hari seperti halnya kami mengenakan celana dan rok. Wanita-wanita Burma berwajah teramat pucat. Mereka menggunakan adonan berwarna putih kekuningan di pipi-pipi mereka yang lebih gelap dari sawo matang; kadang juga di lengan-lengan mereka. Sebagian besar dari mereka membuat bentuk bundar atau bentuk daun di pipi mereka. Adonan ini telah digunakan wanita-wanita Burma lebih dari 2000 tahun lamanya (Wikipedia says so), mereka menyebutnya Thanaka. Orang-orang Burma percaya bubuk thanaka membantu masalah jerawat dan membuat kulit mereka sehat. Thanaka juga melindungi kulit dari sunburn dan memberi efek sejuk pada kulit. Well not surprise, guess everyone will need thanaka powder because Yangon is beyooooooooooond hot. It burns you up!
#ForYourInformation
- You sure DON'T NEED ANY VISA to visit this country, jadi kalau petugas bandaranya iseng mengajukan pertanyaan soal visa well explain that you're from ASEAN country and no need to bring any visa
- Mata uang Myanmar adalah Kyat. 1 Kyat = ± 10 Rupiah
- Bawalah beberapa ratus Dollar untuk ditukar dengan Kyats, sejauh ini sepengetahuan kami rate tukar yang bagus adalah di Yangon International Airport
- Jasa taksi dan driver untuk satu hari di Yangon sekitar 70.000 Kyats (± IDR 700.000) Thanks God, kami bertujuh!
- Meski setir mobil-mobil Myanmar berada di bagian kanan, tapi lajur yang kami gunakan juga berada di KANAN (weird tho?)
- Harga cinderamata khas Myanmar tak jauh beda dengan di Indonesia, bahkan terkadang lebih murah
- Selama kami di Myanmar kami hanya makan Curry (hingga bosan dan memutuskan memakan abon yang kami bawa dari rumah), biasanya seporsi kari ayam dibanderol seharga 2400 Kyats (± IDR 24.000) sedangkan kari kambing dibanderol seharga 3000 Kyats (± IDR 30.000)
- Selain sering memakai bedak Thanaka di pipi mereka, orang-orang Yangon juga sering mengunyah sirih (ketimbang merokok!)
- Jangan. Pernah. Mengharap. Wi-fi. Gratis.
- Yangon is a messed up city compared to Surabaya, but I looooooooooove this city!
XOXO,
Rofaramadhani