Surat Terbuka Untuk Yang Merasa

April 07, 2015

Aku mungkin bukan seorang penggemar cerita politik negeri sendiri. Bukan juga tukang gosip pemerintahan yang sering menyeletuk lewat media sosial. Sejatinya aku tidak terlalu tertarik dengan hal-hal demikian. Hanya saja keadaan berita di televisi sedang menarik untuk disimak akhir-akhir ini.

Masih ingat tentang calon tunggal Kapolri yang beritanya begitu saja menguap karena media sibuk memburu balada tangkap menangkap POLRI – KPK? Atau harga BBM subsidi yang melambung populer lengkap dengan embel-embel salam dua ribu, lalu turun beberapa ratus rupiah dan kembali mengalami kenaikan beberapa ratus rupiah pula tanpa pemberitaan seheboh sebelumnya? Bagaimana dengan pergerakan aksi mahasiswa seluruh Indonesia yang ramai di media sosial tapi tak juga punya tempat di televisi nasional? Lalu keluh kesah para sosialita karena rupiah berada di nilai tiga belas ribu rupiah? Pernah dengar mengenai penandatanganan Perpres oleh Bapak Presiden yang tak sempat beliau baca isinya? Atau rencana penaikan tarif dasar listrik di beberapa daerah? Ah, mungkin tak dengar karena rakyat Indonesia sedang sibuk merindukan Olga dan Mpok Nori yang telah berpulang.

Lalu, apa?

Sebesar apa cinta kita akan Indonesia untuk bisa memahami kondisi negeri sendiri?
Cukup banyak kah modal nasionalisme dalam dada untuk mengulur satu persatu masalah yang sedang terjadi?
Sebanyak apakah tekad untuk 'membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia' agar tidak sekedar menjadi bacaan wajib di hari Senin pukul delapan pagi?

Lalu, bagaimana?

Menuntut pemerintah? Jangan. Cukup. Nanti hanya akan jadi wacana. Lagi pula apa tidak bosan mengadu ke pemerintah?
Menghujat Bapak Presiden kita sendiri di media sosial? Coba terangkan lagi apa fungsinya.
Menyalahkan saudara setanah air karena memilih Presiden dari partai moncong putih? Kalau pun mereka mengaku salah dan menyesal, apa kemudian masalahnya tuntas bersih?

Lebih baik menyalakan lilin dari pada terus menerus merutuki kegelapan.

Merutuki kegelapan, itu yang sekarang sedang sebagian besar dari kita lakukan. Coba ingat ada berapa juta kicauan menolak kenaikan BBM bersubdi dari orang-orang yang sehari-harinya menggenggam smartphone dengan harga berdigit tak kurang dari tujuh. Atau seruan-seruan menuntut pemerintah pro ‘rakyat kecil’ yang dari dulu sampai sekarang selalu mengecil-kecilkan keadaan mereka sendiri padahal sesungguhnya mereka bisa bangkit. Ada juga updatean status para pelaku konsumerisme yang biasanya hanya membaca berita separuh—atau mungkin judulnya saja—soal rupiah melemah di tiga belas ribu rupiah, mereka anggap itu petaka di hari-hari dimana Adidas sedang mengeluarkan koleksi terbarunya bersama Pharrel Williams.

Bukankah sesungguhnya masalah-masalah itu bisa diselesaikan dengan cara sederhana? Tidak sadarkah kita bahwa kita terlalu banyak mengasihani diri kita sendiri? Mencap pribadi sebagai masyarakat negara ketiga yang makin lama makin miskin karena pemerintahnya korupsi. Meratapi nasib sebagai negara berkembang yang koneksi internetnya tak cukup sakti seperti di luar negeri. Dan selalu mengharap uluran tangan pemerintahan atas label ‘rakyat kecil’ yang kita bangga-banggakan sedari dulu hingga kini.

Kita menuntut pemerintah tidak korupsi, kolusi, nepotisme dan blablabla lainnya. Tapi kita juga masih tidak bisa mengantri dengan tertib. Masih membuat SIM dengan jalur belakang. Menyerahkan sejumlah rupiah pada Pak Polisi dijalan ketika kita kena tilang. Mencontek saat ujian nasional. Masuk perguruan tinggi negeri paporit karena titipan. Membuang sampah sembarangan. Merokok di tempat umum. Melawan arus lajur kendaraan yang telah dibuat. Tidak mematuhi jam kerja. Apa bedanya kita dengan pemerintah yang seringkali kita hujat karena ketidakbecusan menyelenggarakan pemerintahan yang menjamin kesejahteraan?

Sebaik-baiknya Bapak Presiden yang terpilih pun tidak akan bisa merubah Indonesia jika kita sebagai rakyatnya tidak mau diubah. Jika kita tetap mempertahankan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan berulang-ulang tanpa ada keinginan untuk memperbaiki, maka hal itu akan menahun menjadi sebuah kebiasaan. Well let say, kita cenderung membenarkan sesuatu yang biasa, bukan membiasakan sesuatu yang benar.


Bayangkan sisi positifnya,
Karena BBM bersubsidi mengalami kenaikan harga, banyak masyarakat yang memilih untuk menggunakan kendaraan umum, volume kendaraan pribadi menurun, permintaan akan bahan bakar menurun, polusi pun menurun.
Karena nilai rupiah berada di tiga belas ribu rupiah, maka banyak masyarakat yang mulai menggunakan barang-barang produksi dalam negeri, UKM jadi berkembang karena banyaknya permintaan pasar, masuknya barang impor bisa ditekan, gaya hidup konsumerisme juga mulai bisa dihilangkan.
Masalah yang sama, hanya saja dihadapi dengan penyikapan yang berbeda. Mungkin tidak sesederhana itu penyelesaiannya ketika di lapangan, tapi bukankah itu sudah satu langkah nyata untuk Indonesia lebih baik? Bagaimana, setuju untuk saling mengingatkan dalam kebaikan?


Jadi, sudah sejauh apa kamu menolong negerimu dirimu sendiri?


Catatan ini ditulis untuk #SisaSelasa dengan tema sudah sejauh apa, tulisan yang juga menampar penulisnya akan pertanyaan 'apa yang sudah ia berikan pada negaranya'

You Might Also Like

7 comments

  1. sangat mencerahkan *sentrong pake senter*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mas Dito, semoga bisa saling mengingatkan diantara kita saudara setanah air :')

      Delete
  2. gak rugi awakmu kenal karo gumbul aku cik :D wkwkwk, eh onok mas dito nongol neng kene :D

    ReplyDelete
  3. Salam kenal dari Surabaya. Wah setuju banget sama kalimata "sebaik-baiknya presiden yang terpilih, kitak tidak akan bisa berubah kalau rakyatnya tidak mau dubah." Mungkin bener kalau kita harus melakukan perubahn yang terkecil, yaitu dari diri sendiri! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oiya, satu lagi. Aku buka profil kamu di Fiverr, kamu buat desain buat Padmagz juga toh, wah keren! Aku pernah loh diundang di launching bukunya bu Wina :)

      Delete
    2. Hai Elang, terima kasih sudah setuju, semoga kita bisa masuk bagian orang-orang yang at least nggak nyusahin negara ya hahaha
      Iya, saya dulu kerja di PADmagz. Oh ya? Kamu kenal Bu Wina juga kah? Kamu pasti cerpenis ya? :D

      Delete