Biar Semesta Yang Menjawab
June 01, 2015
Kapan terakhir kali
kau jatuh cinta, Nara?
Sudah tiga ratus
sebelas hari sejak kau memutuskan pergi. Siapa yang rela menghitung setiap
menit setelah semua berakhir? Aku. Aku masih sudi menghitungnya, Nara.
Kesedihanku begitu saja menerbangkanku ke Lombok siang itu.
Spontanitasku kumat lagi. Biar saja, toh sudah tidak ada dirimu yang selalu
mengomel tiap kebiasaan mendadak itu datang. Kamu yang tiap hari selalu bangun pagi
tepat pada pukul lima lebih sepuluh menit pasti akan gusar jika tau dengan
bodohnya aku memutuskan pergi dengan persiapan tak lebih dari dua jam sebelum
pesawat itu menerbangkanku dari Surabaya ke Lombok. Tak apalah Nara, kini sudah
tak ada lagi dirimu.
Cuma karena teringat tentangmu di siang bolong lantas aku
merasa benar untuk pergi melayangkan diriku di atas pasir pesisir Gili
Trawangan sore itu. Matahari jam lima sore masih terasa membakar tubuhku yang
kini semakin cokelat. Jika kau tau aku nekat mandi sinar matahari pasti kau sudah
marah besar, kau bilang anak gadis tak elok berkulit terlalu cokelat nanti
dikira doyan kelayapan. Tapi sekarang pengecualian. Tak apalah Nara, kau pun sudah tak lagi peduli.
Kapan terakhir kali
kau jatuh cinta, Nara?
“Mbak, sudah jam enam malam”, seseorang menyapaku.
“Oh iya, saya tahu."
“Oh maaf, saya kira Mbak ketiduran, pake kacamata hitam jadi
nggak kelihatan Mbak.”
Aku mengerlingnya. “Fira.”
“Apa?”
“Panggilnya Fira aja, jangan Mbak, lagian tua situ kayaknya.” kataku sewot.
“Oh maaf, saya Alex”, jawabnya kalem sambil mengulurkan
tangan.
Aku menjabat tangannya lalu kembali berbaring di kursi
pantai yang sedari tadi menemaniku. Dia tak langsung pergi, malah ikutan
berbaring di kursi pantai tepat disebelahku. Senja kini hanya sebatas garis
merah tua di ujung sana. Aku menatap semburat warna oranye yang tersisa. Merasakan
sapuan angin di wajahku. Meresapi suara ombak yang kini makin lama makin keras.
Senja. Kau masih suka senja, Nara? Pasti iya. Senja mana yang tak kau bekukan
dalam kameramu? Senja mana yang tak kau unggah dalam akun sosial mediamu.
Bahkan senja murahan di pinggiran kota akan tampak berbeda dalam perspektifmu.
Selalu cantik. Aku harap kau juga sedang dinaungi senja di manapun kau berada.
Jakarta, mungkin. Entahlah.
“Sendirian aja Mbak ... eh Fir?”, tanya lelaki itu
membuyarkan lamunanku.
“Iya”, jawabku singkat tanpa menoleh.
“Gila!”
“Apa?” Aku melepas kacamataku. Memalingkan wajahku padanya
sambil melotot.
“Enggak. Enggak. Bukan gitu maksudnya. Cewek pergi traveling
sendirian itu kerennya luar biasa! Where
are you come from?”
“Surabaya. Lah kamu sendiri, sendirian?”
“Hehehe iya”, jawabnya sambil meringis.
“Sama aja. Ngapain?”
“Ngapain? Apanya?”
“Kamu ngapain kesini sendirian? Nggak punya temen yang bisa
diajakin pergi? Cari pelarian karena habis diputusin pacar?”, kataku seenaknya.
Wajahnya tiba-tiba menegang. Aku sempat salah tingkah takut
salah berucap. Bagaimana jika dia memang mencari pelarian karena diputuskan
pacarnya. Atau lebih buruk. Atau. Atau. Atau. Sejuta spekulasi membekukan otakku dan rasa bersalah tiba-tiba membanjiriku.
“Cenayang ya?”, katanya memecahkan beberapa detik keheningan
karena pertanyaan asal-asalanku.
“Hah?”
“Kamu cenayang ya? Kok bisa pas gitu pertanyaannya?”
“Cuma tebakan beruntung.”
“Lulusan psikologi?”, pertanyaannya lebih serupa tuduhan.
“Cumlaude”, jawabku setengah pamer.
“Sudah kuduga, orang-orang psikologi memang pintar benar membaca
orang”, katanya yang terlihat bangga sekali memergokiku sebagai lulusan
psikologi yang baginya lebih terlihat sebagai lulusan percenayangan.
“Jadi ... kamu kesini lagi dalam pelarian karena habis
diputusin pacar?”, tanyaku geli.
“Sebenernya pingin buang kenangan...”
“Hmmmmm.....”, kataku sambil mengangguk-angguk, tidak ingin
memperpanjang percakapan yang tidak direncanakan ini.
“Kata orang, semakin kita berusaha melupakan seseorang, justru
kita akan semakin ingat. And I believe that time heals
nothing unless we move along with it. Jadi aku memutuskan untuk pergi
kesini. Di tempat yang sama. Waktu yang sama. Bahkan aku duduk di kursi pantai
yang sama persis seperti waktu itu. Dia duduk di kursi yang sedang kau duduki
sekarang. Aku rasa berusaha membuang kenangan justru dengan mendatangi titik awalnya mungkin akan berbuah jawaban...”, kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari lidahnya.
Aku tercengang.
“Jadi .... dia itu ... hmmm ... waktu ituuu ...”, kataku
lambat-lambat, takut salah bicara.
“Tunanganku. Yang kini ku anugerahi gelar mantan-calon-istriku.
Di tempat ini aku memintanya menjadi labuhan jiwaku. Yang akan genap sebagai
sebagian hatiku. Yang akan jadi separuh aku. Tapi tiga minggu yang lalu ia
memutuskan pergi. Pergi jauh dan tak bisa kembali. Ia sempat berpamitan, bahkan
meminta maaf dan mengembalikan cincin tunangannya padaku..."
Aku melirik tangannya, menelusuri jari-jarinya mencari cincin tunangan yang mungkin saja masih ia kenakan. Masih ada. Cincin itu masih melekat di jari empunya, meski pasangannya sekarang entah ada dimana.
"...Tapi bukankah sewindu itu waktu yang tak singkat untuk semudah itu melupakan seseorang yang sudah membagi tawa dan tangis bersamamu? Yang menenangkan di subuh yang petang dengan doa-doa berbaris-baris dan menghangatkan di malam-malam ketika kamu butuh dukungan. Bukankah akhirnya hubungan yang dielu-elukan atas nama cinta ketika kandas hanya akan jadi simbiosis-entah-apa-namanya yang berdasar pada kalkulasi materi, waktu, dan pengorbanan yang terbuang percuma? Lebih buruk lagi, masalah perasaan yang kini sudah tak lagi jadi mutualisme, antara usai tak usai. Entahlah. Nggak semudah itu kan.”
Aku melirik tangannya, menelusuri jari-jarinya mencari cincin tunangan yang mungkin saja masih ia kenakan. Masih ada. Cincin itu masih melekat di jari empunya, meski pasangannya sekarang entah ada dimana.
"...Tapi bukankah sewindu itu waktu yang tak singkat untuk semudah itu melupakan seseorang yang sudah membagi tawa dan tangis bersamamu? Yang menenangkan di subuh yang petang dengan doa-doa berbaris-baris dan menghangatkan di malam-malam ketika kamu butuh dukungan. Bukankah akhirnya hubungan yang dielu-elukan atas nama cinta ketika kandas hanya akan jadi simbiosis-entah-apa-namanya yang berdasar pada kalkulasi materi, waktu, dan pengorbanan yang terbuang percuma? Lebih buruk lagi, masalah perasaan yang kini sudah tak lagi jadi mutualisme, antara usai tak usai. Entahlah. Nggak semudah itu kan.”
Aku menatap wajahnya. Pandangannya jauh di luar garis laut.
Matanya kosong. Apa yang lebih mengerikan dari seorang lelaki yang baru saja
kau kenal di tempat asing yang tiba-tiba saja beberapa detik lalu telah
menceritakan seluruh kesedihannya padamu. Aku cuma bisa diam, ikut melayangkan pandanganku ke titik dimana pandangan matanya jatuh.
“Hahaha aku jadi curhat yaaa, sampe kamu kelihatan bingung
gitu, menyedihkan ya, maaf ya”, katanya tiba-tiba seakan bisa membaca
pikiranku.
“Hmmm nggak apa-apa kok, I’m
sorry to hear that.”.
“Well, everything is
gonna be okay, isn’t?”, katanya. Aku mengangguk, menyetujuinya.
Kapan terakhir kali
kau jatuh cinta, Nara?
Apa kau pernah merasakan cinta sedalam lelaki disampingku
ini? Pernahkah kau menyesal sepertinya ketika tiga ratus sebelas hari yang lalu
kau memutuskan untuk pergi? Beginikah rasanya hatimu ketika kita sepakat bahwa
sudah tak ada lagi yang perlu dilanjut, sudah tak perlu lagi bertukar rindu,
dan tak ada lagi mutualisme antara kau dan aku? Seperti apa rasanya patah hati saat itu? Apa cuma aku yang setengah mati menangisi hubungan yang harus berhenti? Sungguh sebenarnya aku rela
menukar semua yang ku punya saat ini untuk mendengar jawabanmu atas semua
pertanyaanku.
“Kalau kamu”, lagi-lagi dia memecahkan lamunanku.
“Sama.”
“Kamu juga lagi dalam pelarian karena diputusin”, wajahnya
mendadak sumringah. Aku melotot. Buru-buru ia mengubah wajahnya menjadi
prihatin, ekspresi yang sewajarnya ia tunjukkan sedari tadi.
“Iya. Tapi beda kasus sama kamu. Aku nggak sewindu. Nggak
juga sempet tunangan. Apalagi sampe melabeli dia mantan-calon-suamiku. Nggak
sebegitunya.”
“Lalu kenapa repot-repot pergi kesini?”
“Nih...” Aku menyodorkan botol kaca besar padanya.
“Isinya semua kenanganku sama dia. Bukankah cinta nggak
mengenal waktu dan alasan untuk tumbuh? Bukankah yang sampai bertahun-tahun
juga nggak menjamin bahwa cintanya akan lebih kuat dari yang cuma beberapa
bulan bersanding. Kita nggak tau rumus sebenarnya ketika kita jatuh cinta,
bahkan relativitas Einstein juga nggak menjawab. Besok pagi aku mau buang ini.
Dilarung ke laut, biar semesta yang merenggut semua tentang dia.” kataku.
“Harus di Gili Trawangan?”
“Entahlah. Aku cuma merasa disini aku akan menemukan
jawabannya. Mungkin karena semesta nggak pernah membiarkanku sampai sini waktu
aku masih sama dia dan sekarang rasanya aku merasa benar untuk pergi kesini
sendirian. And here I am”
Aku memandangi botol kaca besar yang kubawa. Besok botol
kaca ini harus tergerus ombak, diombang-ambingkan oleh laut. Lalu tenggelam, atau mungkin terdampar di negeri antah berantah. Begitu juga
perasaanku, besok harus kutandaskan sampai habis benar. Dan kenangan yang
selama ini menjadi hantu nantinya akan bebas menguap karena aku memaksa ikhlas.
Bukankah tiga ratus sebelas hari bukan waktu yang singkat untuk menunggu, Nara?
Aku menghabiskan malam bersama lelaki yang ada disampingku. Kami bicara banyak, mulai dari film romantis sampai solusi kongkrit untuk negeri. Mulai dari puisi sebait sampai keliahaiannya berbahasa Prancis. Hingar bingar di pesisir Gili Trawangan tak lebih mengasyikkan dari percakapan yang sedang kami jaga tetap menyala.
Sudah lewat tengah malam ketika kami terlalu lelah untuk menertawai cerita kebodohan kami soal cinta. Aku yang selalu rela sendiri menunggu, dan dia yang rela sendiri berjuang. Malam itu angin lebih bersahabat, berhembus tapi tak kencang. Suara ombak yang menggelung terdengar samar. Menenangkan. Kami kompak diam. Menyesap dalam-dalam tentang apa yang melayangkan kami ke tempat ini, detik ini. Merayakan patah hati yang diam-diam kami bagi untuk sekedar kami tangisi lagi, tapi kali ini tak sendiri.
Aku menghabiskan malam bersama lelaki yang ada disampingku. Kami bicara banyak, mulai dari film romantis sampai solusi kongkrit untuk negeri. Mulai dari puisi sebait sampai keliahaiannya berbahasa Prancis. Hingar bingar di pesisir Gili Trawangan tak lebih mengasyikkan dari percakapan yang sedang kami jaga tetap menyala.
Sudah lewat tengah malam ketika kami terlalu lelah untuk menertawai cerita kebodohan kami soal cinta. Aku yang selalu rela sendiri menunggu, dan dia yang rela sendiri berjuang. Malam itu angin lebih bersahabat, berhembus tapi tak kencang. Suara ombak yang menggelung terdengar samar. Menenangkan. Kami kompak diam. Menyesap dalam-dalam tentang apa yang melayangkan kami ke tempat ini, detik ini. Merayakan patah hati yang diam-diam kami bagi untuk sekedar kami tangisi lagi, tapi kali ini tak sendiri.
“Fir, sadar nggak sih, kita sama-sama cari jawaban atas perasaan
yang nggak kunjung usai. Lucu...”, katanya sambil menatap langit. Sedetik kemudian
memalingkan wajahnya padaku dan tersenyum memandangku.
"Besok aku temani kamu buang botol kaca kenanganmu itu, boleh ya?", katanya sambil mengusap-usap kepalaku.
"Besok aku temani kamu buang botol kaca kenanganmu itu, boleh ya?", katanya sambil mengusap-usap kepalaku.
Oh purnama.
Bulan sedang bulat penuh.
Indah sekali.
Hanya saja sinarnya kini sedang memantul di wajah lelaki di
hadapanku. Alex. Dan ombak yang sedari tadi menderu sepertinya kini membisu,
ikut mendengarkan degup jantungku. Ia masih menatap lekat wajahku. Menunggu
jawaban atas persetujuanku tentang dua orang yang sama-sama mencari jawaban
atas perasaan yang tak kunjung usai yang dipertemukan secara tidak sengaja di
senja menjelang malam. Tentang jiwa yang sama-sama ingin membuang kenangan dan bertaruh harga tinggi untuk esok tanpa embel-embel cinta yang dibodohi.
Aku menahan napas. Menghitung sampai tujuh.
Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.
Lima.
Enam.
Tujuh.
Semesta berkonspirasi! Iya. Semesta berkonspirasi. Dengan pesisir
Gili Trawangan. Ombak. Pasir berbisik. Kursi pantai. Botol kaca berisi
kenanganmu. Purnama. Obrolan tidak jelas. Tanggal sembilan belas. Senyum itu. Alex. Alex. Alex.
Kapan terakhir kali
kau jatuh cinta, Nara?
Tujuh detik yang lalu. Aku berkalkulasi tentang perasaan.
Tentang hitungan matematis kemungkinan cinta datang. Atas nama relativitas
Einstein yang tak pernah kupercaya kongruen dengan cinta. Dan pencarian jawaban
yang tak kunjung datang. Dengan pria yang tak sampai tujuh hari tujuh malam ku
kenal. Tiba-tiba semuanya melebur menjadi satu. Membentuk jaring-jaring seperti
bintang selatan yang akan menuntunku pulang.
Apa yang terjadi tujuh
menit lagi? Semoga aku punya jawaban atas tiga ratus sebelas hari sebelumnya. Semoga
aku jatuh cinta, Nara.
Tulisan ini merupakan hasil #SisaSelasa dengan tema 'Apa yang terjadi tujuh menit lagi?' yang sudah habis deadline *aaaak ampuni aku*
2 comments
Mbak aku udah serius baca tapi nahan ketawa bagian jam enam malam masih pake kacamata haha :D
ReplyDelete....
Jadi...Fira -nya udah jatuh cinta kah mbak? *penasaran* :D
AAAAK Imama maluuuu cerpen abal-abal ini kamu baca :((
DeleteIya, Fira lagi sendu jadi sampe malem kaca mata itemnya tetep dipake, matanya bendol abis nangis kali ya wkwkwk
Jadi...Fira-nya udah jatuh cinta kah mbak? --> semoga :')