Sejak Kapan?
March 31, 2015
Sejak kapan?
Kalimat itu menggantung tanpa jawaban beberapa bulan ini, menyisakan sebuah draft di surel yang tak kunjung dikirimkan.
Aku tidak tahu.
Satu kalimat itu yang terus saja kau pandangi di layar ponselmu. Sesungguhnya engkau punya banyak rasa untuk diungkapkan. Punya banyak kata untuk ditulis dalam balasan surel yang sudah mangkrak di inboxmu. Tapi kau tidak pernah punya nyali untuk membalasnya--dan untuk menatap matanya.
Kau sadar ribuan jam yang telah kalian lalui bersama harusnya patut dicurigai. Patut disalahkan. Atas rasa nyaman yang tiba-tiba menyelinap. Kemudian menyebabkan rasa canggung berlebihan. Sungguh kamu benci mengakui kalau kamu diam-diam mencintainya.
Kamu mulai marah dengan dirimu--dengan perasaanmu. Andai kamu mati rasa, tentu tidak akan ada drama romansa yang berkecamuk di dada yang kamu teguk sendirian. Dia yang sebatas menganggapmu sahabat tidak akan pernah mengetahui sakitnya menahan perasaan yang meluap-luap. Dia tidak akan tau degup jantungmu yang menderu tiap ia mengusap kepalamu. Dia juga tidak akan pernah paham kupu-kupu di perutmu setiap kali ia menggandeng tanganmu ketika menyebrang jalan.
Kamu takut. Kamu takut karena ingin jujur. Karena kejujuran akan membawa pada situasi kehilangan dirinya--kehilangan jiwanya. Yang akhir-akhir ini sungguh melengkapi jiwamu yang kering atas kasih sayang. Kamu takut disudutkan, disalahkan atas perasaan yang tidak bisa kamu jaga. Dialah bagian terpenting di hidupmu sekarang, justru itu membuatmu hilang arah.
Hingga kamu memilih menghilang. Sayangnya ia justru semakin sadar.
Sejak kapan?
Surel baru masuk dalam inboxmu, menghamburkan lamunanmu tentang dia. Dia yang masih saja kamu puja. Dia butuh jawaban. Dia butuh diyakinkan. Dia ingin tahu seberapa lama sahabatnya telah mencintainya. Dan kamu sudah mulai lelah membaca ratusan sejak kapan yang terus ia kirim setiap hari. Sudah terlalu banyak aku tidak tahu yang ingin kamu teriakkan di hadapannya dan semua perasaan campur aduk yang akan membanjiri dirinya.
Sungguh kamu ingin dirinya menemuimu lalu memelukmu. Membisikkan kalimat menenangkan di lubang telingamu. Memahami bahwa dia terlalu banyak berhutang pada jiwa yang selama ini ia jadikan sandaran, tapi tak pernah ia jadikan labuhan. Kamu menanti permintaan maafnya, karena ia tak juga bisa menjaga perasaanmu. Sahabat terbaiknya.
Kamu ingin dia mengerti seberapa sakitnya jatuh dan mencinta sendirian. Kamu ingin jelaskan betapa serba salahnya menjadi orang yang mencintai sahabatnya sendiri. Kamu ingin dia paham bahwa rindu yang dipendam tanpa pernah diucap rasanya sungguh menyiksa.
Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku belum usai dengan perasaanku sampai sekarang.
Kamu membalas surelnya, hanya itu yang terucap. Kamu menatap jam di layar ponselmu, lalu beranjak dari ruang tunggu dan membaur dengan penumpang lainnya. Jakarta cuma saksi bisu romasa pelikmu. Kamu merasa benar untuk pergi. Kamu sungguh menghilang.
Yang masih saja menunggumu pulang.
Yang telah dicintai sahabatnya sendiri.
Yang mencintaimu dalam diam.
Yang mencintaimu dalam diam.
Pengecut yang tak bisa mencegah belahan hatinya pergi,
Aku.
Tulisan ini merupakan hasil #SisaSelasa dengan tema 'Sejak Kapan?'
0 comments