People were staring at us; from top to toe
Their eyes followed our move, maybe because we were different
It wasn't about our skin color, nor about our face
Maybe because we covered our hair with a veil and they didn't
Aku ingat kali pertama aku menginjakkan kaki di bekas ibukota negara Myanmar (Burma) ini sekitar satu tahun yang lalu (lama beneeeerrr~). Hari itu adalah hari yang cukup cerah di Yangon International Airport. Setelah landing, kami berlima buru-buru mencari toilet untuk sekedar menjaga mata kami tetap terbuka. Morning flight membuat kami tak sempat mandi dan tak kuasa menahan rasa kantuk, setelah sebelumnya kami menginap beberapa jam di pelataran Kuala Lumpur International Airport dan harus mengejar penerbangan di Gate 21 (sekali lagi, 21!) sembari memanggul carrier bag. Petugas imigrasi menghampiri kami, menyuruh kami untuk segera mengantri di antrian immigration arrival yang kini terlihat semakin panjang setelah satu grup besar orang-orang kaukasia ikut mengantri. Sepertinya pagi itu kami kurang beruntung, dengan turis sebanyak itu entah kenapa mereka hanya menyediakan dua baris antrian untuk foreigner. Bayangkan, kami harus mengantri sekitar satu jam dan memanggul tas dengan berat tak kurang dari delapan kilogram. Lumayan. Olahraga.
Di luar bandara kami berbincang dengan seorang petugas perempuan yang membantu kami mencari taksi untuk menuju Shwedagon Pagoda. Setelah hitung menghitung ongkos yang akan kami keluarkan, kami menyetujui seharian diantar dengan sebuah mobil berkapasitas tujuh penumpang yang bahkan tidak bisa ku sebut sebagai taksi. No one longer use that kind of car in Surabaya nowadays, tho. Setibanya di Shwedagon Pagoda, kami masih belum bisa menghubungi Mbak Anggung & Mbak Kania yang sampai di Yangon lebih dulu. Sedangkan kami hanya punya beberapa jam hingga petang sebelum kami harus mengejar bis menuju kota Bagan di malam harinya. Sooooo, beginilah kegiatan kami hari itu (semuanya dilakukan dengan serba cepat).
Shwedagon Pagoda (kami bahkan tak jadi masuk ke dalam pagoda, ugh!) - Makan siang di Golden City Chetty Restaurant (we couldn't read their menu, seriously!) - Sholat Dzuhur sekaligus Ashar di masjid-yang-ku-lupakan-namanya (coba baca tulisan Mas Ndup soal seharian di Yangon, lebih lengkap!) - Belanja oleh-oleh di Bogyoke Aung San Market.
Hiruk pikuk kota Yangon siang itu
Bogyoke Aung San Market terlihat seperti pasar tradisional oleh-oleh serba ada. Pasarnya cukup luas dan lengang dengan kios-kios yang diatur dalam petak-petak, membentuk blok-blok dengan ruas jalan yang cukup lebar. Kios-kiosnya lebih terbuka dengan dekorasi yang lebih niat lucu daripada pasar-pasar di Indonesia. Kami menemukan banyak cinderamata dijual dengan harga yang relatif ramah bagi kantong pelajar seperti kami, tentu saja dengan ritual tawar-menawar sengit di awal. Ada perhiasan, kaos, longyi, baju tradisional Myanmar, kartu pos, gantungan kunci, tempelan kulkas, tas-tas kecil, aksesoris, makanan tradisional, pajangan, dan cinderamata lainnya. Too bad kami tidak bisa memakan apapun disana karena kami tidak yakin makanan-makanan itu halal atau tidak. Aku membeli beberapa kaos, dua baju tradisional Myanmar, dan beberapa kartu pos. Interesting fact: Some of the sellers can speak in Bahasa! (not so good, but they understand).
Hampir semua orang-orang Yangon yang kami temui mengenakan sejenis sarung; Longyi sebutannya. Iya, mereka menggunakan sarung sehari-hari seperti halnya kami mengenakan celana dan rok. Wanita-wanita Burma berwajah teramat pucat. Mereka menggunakan adonan berwarna putih kekuningan di pipi-pipi mereka yang lebih gelap dari sawo matang; kadang juga di lengan-lengan mereka. Sebagian besar dari mereka membuat bentuk bundar atau bentuk daun di pipi mereka. Adonan ini telah digunakan wanita-wanita Burma lebih dari 2000 tahun lamanya (Wikipedia says so), mereka menyebutnya Thanaka. Orang-orang Burma percaya bubuk thanaka membantu masalah jerawat dan membuat kulit mereka sehat. Thanaka juga melindungi kulit dari sunburn dan memberi efek sejuk pada kulit. Well not surprise, guess everyone will need thanaka powder because Yangon is beyooooooooooond hot. It burns you up!
#ForYourInformation
- You sure DON'T NEED ANY VISA to visit this country, jadi kalau petugas bandaranya iseng mengajukan pertanyaan soal visa well explain that you're from ASEAN country and no need to bring any visa
- Mata uang Myanmar adalah Kyat. 1 Kyat = ± 10 Rupiah
- Bawalah beberapa ratus Dollar untuk ditukar dengan Kyats, sejauh ini sepengetahuan kami rate tukar yang bagus adalah di Yangon International Airport
- Jasa taksi dan driver untuk satu hari di Yangon sekitar 70.000 Kyats (± IDR 700.000) Thanks God, kami bertujuh!
- Meski setir mobil-mobil Myanmar berada di bagian kanan, tapi lajur yang kami gunakan juga berada di KANAN (weird tho?)
- Harga cinderamata khas Myanmar tak jauh beda dengan di Indonesia, bahkan terkadang lebih murah
- Selama kami di Myanmar kami hanya makan Curry (hingga bosan dan memutuskan memakan abon yang kami bawa dari rumah), biasanya seporsi kari ayam dibanderol seharga 2400 Kyats (± IDR 24.000) sedangkan kari kambing dibanderol seharga 3000 Kyats (± IDR 30.000)
- Selain sering memakai bedak Thanaka di pipi mereka, orang-orang Yangon juga sering mengunyah sirih (ketimbang merokok!)
- Jangan. Pernah. Mengharap. Wi-fi. Gratis.
- Yangon is a messed up city compared to Surabaya, but I looooooooooove this city!
XOXO,
Rofaramadhani